Total Pageviews

Friday, August 5, 2011

DAGADU DJOKDJA: BERTAHAN DENGAN “KELOKALITASAN”

Kalau kalian pernah bertandang ke kota Jogja, pastinya kalian pernah mendengar nama Dagadu.

(Penulis : Woro Agustin)
photo by woro
Yap, produk lokal satu ini sudah banyak dikenal oleh para wisatawan domestik. Gimana enggak, selama 17 tahun mereka masih tetap eksis ditengah kemunculan era perdistroan.Dengan mengangkat tema yang berbau lokal, Dagadu mengolahnya menjadi beragam bentuk merchandise, seperti kaos oblong, mug, topi, jaket, sandal, dan produk pernak-pernik lainnya.
Nama Dagadu ini sendiri merupakan bahasa prokem yang menunjukkan lokalitas Jogja. Di era 94, tepat dimana Dagadu meluncurkan produk resminya, di era itu pula di Jogja sedang marak mengolok-olok orang dengan bahasa yang terdengar halus namun sebenarnya memiliki arti yang kasar, yaitu dengan bahasa kebalikan.
Karena produk Dagadu mulai semakin di kenal luas oleh para wisatawan, maka kini semakin banyak ditemukan pula produk Dagadu palsu yang bertebaran di spot-spot tempat wisata Jogja.
“Maka dari itu belilah produk Dagadu Djogdja di gerai-gerai resmi kami,” ujar Junno Mahesa selaku Marcomm Dagadu Djokdja.
Beragam inovasi jelas sudah dilakukan oleh Dagadu hingga bisa bertahan sampai sekarang. Dengan mengangkat tema-tema guyonan sepele yang sering kita temui di Jogja, Junno juga menambahkan,
“Seringkali ide itu muncul dari mana aja, misalkan di sepanjang jalan Malioboro terdapat banyak lesehan. Dari situlah muncul guyonan, pecel lele tanpa lalapan.”
Tak hanya itu saja, banyak kegiatan yang dilakukan oleh Dagadu untuk semakin mendekatkan diri dengan konsumen. Seperti Raceplorer yang mengajak para pengendara sepeda di Jogja untuk berpetualang melintasi sudut kota Jogja. Kumpul Bocah, yang mengajak anak-anak menghabiskan hari Minggu dengan mengolah barang-barang bekas menjadi mainan, pernak-pernik, dsbnya.
Setiap daerah memiliki cerita dan budaya sendiri. Pastinya inilah yang menarik minat wisatawan akan daerah tersebut. Dagadu Djokdja adalah brand cinderamata terbesar di Jogja yang bisa dibilang kita bisa merasakan dan menjadi bagian dari guyonan-guyonan ala orang Jogja dalam setiap produknya.

Crooz Cloth : Dari Band ke Brand

FOTO : BUDI
Crooz. Brand yang satu ini memang patut masuk dalam salah satu produk lokal yang mumpuni. Kurang lebih empat tahun belakangan, namanya terus meroket hingga akhirnya menempatkan clothing line yang satu ini dalam sebuah posisi menjadi brand ternama di industri lokal.
Musik menjadi salah satu inpirasi yang kuat dari brand ini. Sejak kemunculannya pada tahun 2003, panggung musik dan komunitas di dalamnya adalah dua hal yang menjadi konsep dari Crooz sendiri. Dan semuanya terlahir dari sosok yang akrab disapa Max. Kesenangannya dalam dunia musik dan hobi mengkoleksi kaos band nagri menjadi penggerak utama dari apa yang dihasilkannya sekarang ini.
“Gue menggerakan Crooz ini memang berawal dari hobi. Gue doyan ngumpulin kaos band dan masih tergabung di band Sweet As Revenge. Lama menjalani aktifitas itu ujungnya gue sadar kalo order kaos nagri hanya menghabiskan uang dan nggak banyak berarti. Modal nekat gue bikin kaos band gue sendiri dan nggak taunya laku,” papar Max kepada Hai.
Kerja keras yang dilakoninya akhirnya berbuah manis. Kini Crooz telah berkembang pesat menjadi salah satu produk lokal di antara produk lokal kenamaan lainnya. Nggak hanya di Jakarta, nama Crooz juga telah merambah nasional dan menarik minat mereka di daerah lain yang berujung dengan distribusi yang semakin meluas pula. Selain bermarkas di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, outlet resmi Crooz juga telah resmi merambah dua kota Bandung dan Malang.
Crooz terlahir dari musik. Kegemaran akan musik dari Max membuat Crooz terus berkembang mengikuti arah musik dan komunitasnya. Satu per satu band didukungnya dan secara nggak langsung Crooz menjadi wadah bagi komunitas musik baik pelaku dan juga pendengarnya.
Hal tersebut memang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Max sendiri. sejak awal bergerak di tahun 2003 lalu, Max memang ingin membentuk sebuah simbiosis mutualisme antara brand dan juga band yang ada.
“Dari banyak panggung musik yang gue jalani, faktanya banyak band lokal yang memang nggak kalah bagus dari luar negeri. Ada potensi yang mereka miliki untuk berkembang dan gue mau Crooz ada di dalam sana. Akhirnya gue membantu memproduksi membuat merchandise untuk mereka dan sebaliknya mereka pun membantu mempromosikannya. Intinya sih saling support,” jelas Max.
Cukup banyak band yang kini dikenal khalayak luas yang pada awalnya berjalan bersama dengan Crooz. Sebut saja seperti Pee Wee Gaskins, Vierra hingga Last Child. Bentuk support dari Crooz nggak hanya itu saja. Di sisi lain banyak hal yang telah digerakan beberapa di antaranya seperti mensuppot panggung komunitas musik, membuat beragam gathering, menggelar tur beberapa kota dan hingga kini membawa musik-musik dari band yang digalanginya untuk timbul di permukaan blantika musik Indonesia hingga mendapatkan sebuah pengakuan tersendiri untuk mereka. Hasilnya malah lebih dari yang dibayangkan. Dengan sendirinya akhirnya Crooz mempunyai komunitasnya sendiri.
“Gue nggak mencoba membentuk komunitas, tetapi mereka ada dengan sendirinya. Ketika mereka terbentuk maka gue hanya mencoba mewadahi mereka. Di Crooz mereka bisa berinteraksi dengan band yang mereka suka dan berinteraksi langsung,” celetuk Max.
Nggak sampai di situ saja, belakangan ini Max cs akhirnya juga menggerakan band-band yang disupportnya untuk lebih didengar di nagri dan terfokus di Asia Tenggara. Malaysia dan Filipina menjadi dua negara yang sukses dirambah oleh Crooz. Nggak hanya soal distribusi barang, tetapi juga band yang mereka gandeng. 
Yap, semuanya bukan soal keuntungan semata, tetapi bagaimana cara kita melihat Crooz menjadi sebuah pergerakan dahsyat yang pada mulanya hanya sebuah passion musik dan kreatif di sekitarnya. Semoga saja dengan apa yang telah diraih Max sejauh ini akan terus menjadi sebuah brand yang terus mensupport band lokal demi kemajuan industri kreatif tanah Air.



Bersama musik lokal Indonesia merambah dunia. 

(Penulis : Rastiaka Atha Hestaviyasa)

Peter Says Denim: Rahasia Suksesnya PSD

 “Faktanya adalah banyak orang Indonesia yang nggak cinta produk lokal."

(Penulis : Agung Budiono)
 Keberhasilan Peter Says Denim (PSD) yang cukup singkat memang bukan hal yang instan. Peter sang founder  sudah melewati tahapan-tahapan sulit tentang bisnis jeans -nya. Mulai dari "kuli" jeans sampai bisa jadi bos jeans.  
 “Semuanya bermula dari pengalaman gue kerja di surfing industry.  Kelar SMA gue langsung kerja di pabrik yang membuat produk seperti Volcom, Globe, hingga Rusty. Dari situ gue belajar produksi mulai dari pemilihan bahan sampai pemasaran. Dan 2005 dengan modal nol rupiah gue berani buat denim namanya Defense. Singkat cerita produknya gagal, sampai akhirnya 2008 bikin PSD. Saat itu gue tanpa modal juga dan mulai belajar dari kesalahan,” cerita cowok bernama lengkap Peter Firmansyah.
 Lewat penguasaan dan pengalaman tentang jeans Peter mulai mengatur strategi pemasaran PSD. Dimulai dengan membaca karakter konsumen lokal. “Faktanya adalah banyak orang Indonesia yang nggak cinta produk lokal. Seleranya masih ke-bule-bulean. Dari situ gue konsep PSD untuk ke pasar Internasional sehingga ketika dipakai bule orang Indonesia jadi bangga,” tambah Peter.
 Mengincar pasar Internasional memang bukan hal yang mudah. Apalagi buat brand  yang baru lahir. Sekadar info saat itu ada sekitar 700 brand clothing yang terdaftar di Bandung. Dan ibaratnya dia yang ke-701. Tapi untungnya dia nggak melebur ke dalam, melainkan keluar dari pemikiran brand lokal untuk jadi sesuatu yang beda. Di sinilah hebatnya seorang Peter Firmansyah. Dia bekerja sesuai passion -nya. 
 “Saat bisa mencapai Kanada dan pasar Amerika banyak yang bilang gue sombong. Senior-senior yang udah terjun di clothing  malah ada yang benci. Tapi gue menanggapi ini dengan santai. Ketika sukses dan bikin sesuatu yang beda pasti ada cobaannya. Padahal banyak yang nggak tau usaha gue itu sulit. Gue belajar jeans itu udah lama, gue main band juga cukup lama. Kasarnya bisa dibilang gue tau jeans  dan gue tau apa yang dibutuhin anak band. Gue pun fight di kehidupan itu. Semuanya gue belajar dari pengalaman,